Sejauh mana bakat anak dapat terwujud, tergantung pada beberapa faktor pribadi, seperti minat, motivasi, nilai, kepribadian, dan faktor lingkungan seperti pengalaman dan kesempatan pendidikan.
Sebagai orangtua, kita tentu
memiliki harapan yang besar pada anak dalam berbagai aspek kehidupannya.
Termasuk misalnya, keberhasilan di sekolah maupun luar sekolah. Beberapa
orangtua memisahkan kedua hal tersebut, meskipun sejatinya keduanya sama-sama
berkontribusi pada masa depan dan arah karier anak nanti.
Keberhasilan anak dalam hal apapun,
termasuk dalam pengembangan bakat anak, tentu tidak lepas dari bagaimana kita
sebagai orangtua membekali anak dalam menemukan fokus belajarnya dan menekuni
bidang pilihannya. Namun kita juga seringkali dilanda kebingungan dalam
memfasilitasi belajar anak. Pertanyaan seperti “Apakah saya harus mengikutkan
anak dalam kursus?” atau keraguan semacam “IQ anak saya hanya rata-rata saja,
tidak seperti teman-temannya,” seringkali menghantui benak kita.
Demi keberhasilan anak nanti, kita
rela melakukan apapun – bahkan secara tidak sadar melakukan hal-hal yang
sebenarnya tidak disukai anak. Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan
dalam mengembangkan bakat anak sejak dini:
- Orangtua sendiri perlu menunjukkan minat terhadap bidang kegiatan tertentu, mempunyai hobi, senang membaca, dan menyediakan bahan bacaan yang cukup dan beragam.
- Menciptakan lingkungan rumah yang baik. Tempat orangtua berperan serta dalam kegaitan intelektual, atau dalam permainan yang meningkatkan daya pikir anak.
- Menyempatkan diri untuk mendengarkan dan menjawab pertanyaan anak dengan sungguh-sungguh. Kalau belum dapat menjawab pertanyaan anak, sebaiknya mengajak anak itu untuk mencari jawaban bersama-sama.
- Mengajak anak mengunjungi museum, perpustakaan, tempat bersejarah, pusat kebudayaan atau kesenian. Beri mereka kesempatan bertemu dengan orang lain yang mempunyai keahlian atau keterampilan tertentu.
- Memberi kesempatan kepada anak agar melakukan sesuatu sendiri, untuk memupuk kemandirian, kepercayaan diri dan rasa tanggung jawab.
Pendiri Intrinsic Institute, Dr.
Brian Davidson, adalah salah satu orang yang menaruh perhatian pada tema ini.
Sebagai seorang guru pula, ia tertarik untuk menjawab pertanyaan tentang apa
bekal penting yang harus dimiliki murid-muridnya untuk berhasil dalam studinya.
Alih-alih fokus pada faktor-faktor yang secara umum kita kenal dapat memicu
keberhasilan anak, seperti IQ dan kemampuan kognitif, ia justru mengungkapkan
bahwa banyak kemampuan non-kognitif yang patut menjadi bekal anak. Misalnya, ia
menunjukkan hasil penelitian Angela Duckworth dan Martin Seligman bahwa
disiplin diri dua kali lebih baik ketimbang IQ dalam memprediksi keberhasilan
akademik seorang anak.
Ini seperti banyak kasus yang sering
kita dengar – anaknya tidak terlihat pintar, namun karena dia tekun, sang anak
lalu jadi terampil di bidang bakat yang ditekuni.
Apa sih kemampuan non-kognitif yang
dimaksud oleh Dr. Brian? Yang dimaksud adalah berbagai bekal yang berkontribusi
dalam pengembangan bakat anak, yang sulit diukur dalam berbagai tes, termasuk
tes IQ. Ketekunan belajar, pantang menyerah, growth mindset yang akhir-akhir
ini kita sering dengar, kemampuan untuk bangkit dari kegagalan, jelas lebih
sulit diukur dalam berbagai tes kecerdasan. Namun tes kecerdasan maupun ujian
lebih sering dijadikan patokan dalam menentukan “nasib” anak. Paradigma ini
pula yang menyebabkan kita seringkali lebih fokus pada hasil ketimbang proses
belajar.
Padahal, proses belajar dan
pengembangan bakat anak seringkali akrab dengan tantangan, hambatan, dan kegagalan.
Namun sistem persekolahan misalnya, membuat kita malu melihat seorang anak
tidak naik kelas, meskipun hal tersebut mungkin menjadi pembelajaran yang
berharga bagi anak. Itu sebabnya, selain membekali diri dengan konten belajar –
membaca, berhitung, menulis, memasak, atau bakat apapun yang ditekuni anak –
anak perlu belajar dan membekali dirinya dengan berbagai kemampuan non-kognitif
yang telah disebutkan di atas.
Misalnya, anak yang sering juara
lomba melukis, lalu kemudian tidak mendapat juara di lomba berikutnya, mungkin
merasa kecewa. Hidup memang bukan hanya perlombaan, namun perlombaan juga
menjadi bagian dari hidup dan pengembangan bakat anak. Dalam kejadian ini, ayah
ibu bisa mengobrol dengan anak tentang bagaimana bangkit dari kegagalan. Atau
sebaliknya, anak yang tidak pernah dapat juara lomba melukis pun bisa belajar
bagaimana menumbuhkan sikap pantang menyerah. Tidak dapat juara bukan berarti
anak harus berhenti melukis, bukan?
Namun perlu diingat bahwa orangtua
harus dapat membedakan antara tindakan “memberi perhatian dan kesempatan
mewujudkan bakat” dengan tindakan “memaksa anak untuk berprestasi.” Bakat
seorang anak bukan sesuatu yang siap jadi, tetapi diperoleh dari, dan ikut
dibentuk oleh lingkungan.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar